Selasa, 30 Maret 2010


Arti Cinta

Cinta adalah persaan jiwa, getaran hati, pancaran naluri. Dan terpautnya hati org yg mencintai pada pihak yg dicintainya, dg semangat yg menggelora dan wajah yg selalu menampilkan keceriaan.

Cinta dlm pengertian spt ini mrpk persaaan mendasar dalam diri mns, yg tdk bisa terlepas dan merupakan sesuatu yg essensial. Dlm banyak hal, cinta muncul utk mengontrol keinginan ke arah yg lebih baik dan positif. Hal ini dpt terjadi jk org yg mencintai menjadikan cintanya sbg sarana utk meraih hasil yg baik dan mulia guna meraih kehidupan sbgmn kehidupan org2 pilihan dan suci serta org2 yg bertaqwa dan selalu berbuat baik.

Apakah Islam mengakui cinta?

Krn Islam adalah agama yg fitrah, maka Islam mengakui ttg hal ini. Hal yg sangat mendasar dalam diri manusia. Namun Islam membagi beberapa tingkatan ttg cinta. Dan tingkatan2 cinta ini akan selalu ada dalam kehidupan ini sampai saatnya bumi dan seisinya dihancurkan oleh Allah.

Adapun dasar ttg tingkatan cinta dalam Islam, adalah firman Allah pada QS. 9 (At Taubah): 24).

“Jika bapak2, anak2, saudara2, pasangan2, dan kaum keluarga kalian, harta kekayaan yg kalian usahakan, perniagaan yg kalian khawatirkan kerugiannya, dan rumah2 tempat tinggal yg kalian sukai, lebih kalian cintai daripada Allah, Rasul-Nya dan (daripada) jihad di jalanNYa, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan siksaNya. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang2 yg fasik”

Cinta pada tingkat tertitinggi adalah cinta kepada Allah, rasulNya dan jihad dijalanNya.

Cinta tingkat menengah adalah cinta kepada ortu, anak, keluarga, pasangan dan saudara.

Adapun cinta yg paling rendah adalah cinta yg lebih mengutamakan harta, keluarga, daripada cinta kepada Allah, RasulNya dan jihad dijalanNYa.

Hikmah dari Cinta:

1. Cinta adalah proses ujian yg keras dan pahit dalam kehidupan manusia. Apakah cinta itu dalam perjalanannya akan menghantarkannya kepada jalan yg mulia atau menghempaskannya kepada jalan yg hina.

2. Jika tidak ada cinta maka di dunia ini tidak akan ada inovasi, pembangunan dan peradaban.

3. Keberadaan cinta merupakan faktor dominan dalam melestarikan eksistensi manusia dan interaksinya dengan sesama manusia.

# Ketika cinta diarahkan kpd kebaikan, mk cinta dapat membawa keutuhan, perdamaian, kebaikan pada kehidupan bermasyarakat.

# Cinta yg ditumbuhkan oleh factor keimanan, maka akan menghasilkan berbagai hal yg mengagumkan. Dapat mengubah sejarah, menegakkan puncak kejayaan dan kemuliaan dunia. Sebagai contoh adalah kehidupan generasi muslim pada masa dahulu.

Dan masih banyak lagi hikmah yg lain dari adanya rasa cinta pada diri manusia.

Fenomena yg timbul dari tingkatan2 cinta yg ada akan menimbulkan efek yg berbeda

Pada fenomena tingkatan cinta yg tertinggi, maka akan membuat seseorg dalam hidupnya untuk selalu mendahulukan cinta kepada Allah , RasulNya dan jihad dijalannya. Dalam kehidupannya sehari2 tidak ada orientasi selain kepada Allah. Dia akan selalu merasa yakin bahwa segala sesuatu yg telah Allah tetapkan adalah yg terbaik bagi manusia Bahwa Allah lebih mengetahui daripada makhluknya. Kemudian, bagi seseorg yg sudah merasakan nikmatnya iman, maka dia akan selalu meneladani kepribadian Rasulluh, mencintai Rasululluh, kmdn dia juga akan mencintai jihad dijalanNya. Akan berjuang dengan segala apa yg dia miliki.

Firman Allah pada Qs. 28:68.

“Rabbmu menciptakan apa yg Dia kehendaki dan memilih (seorg Rasul diantara hambaNYa). Sekali2 tidak ada pilihan bagi mereka. Maha suci Allah dan MahaTinggi dari apa yg mereka persekutukan (denganNya)

Qs. 33: 36

“Tidaklah patut bagi seorg mukmin baik laki2 maupun perempuan jika Allah dan RasulNya telah menetapkan bagi mereka suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yg lain dalam urusan mereka…”

Qs.2:140

“Apakah kalian yang lebih mengetahui ataukah Allah?…”

Qs. 2 : 282

“…dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”

Adapun dampak yg disebabkan oleh cinta tingkat menengah dalam membentuk karakter individu, keluarga, dan masyarakat telah amat nyata. Jika tidak Allah ciptakan cinta pada suami –istri maka tidak akan tercipta keluarga, tidak akan lahir anak-cucu, tidak akan terjadi proses mengasuh, mendidik dan memelihara anak.Jika tdk Allah ciptakan cinta pada anak, niscaya dalam jiwanya tidak akan ada semnagat kekeluargaan, tidak akan kokoh iktakan kekeluragannnya, tidak akan mengasihi saudaranya. Jika tdk Allah tanamkan rasa cinta pada manusia maka, mk tidak akan tercipta hubungan social antar bangsa yg dibangun atas prinsip ta’aruf (saling mengenal)

Dengan demikian cinta tingkat menengah ini amat penting untuk menciptakan kemashalatan pribadi dan keluarga khususnya dan untuk merealisasikan kemaahalatan antar bangsa dan seluruh ummat manusia pada umumnya.

Firman Allah tentang hal ini terdapat pada Qs. 49:10

“Sesungguhnya orang2 mukmin itu bersaudara…”

Qs. 49 : 13

“ Wahai manusia seseungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari jenis laki2 dan perempuandan Kami telah menjadikan kalian berbangsa2 dan bersuku2 agar kalian saling mengenal…”

Hadits riwayat Bukhari-muslim

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berbuat baik kepada tetangganya .., hendaklah dia menghormati tamunya”

Dan masih banyak lagi ayat dan hadist yg menceritakan tentang hubungan antar manusia.

Fenomena Cinta tingkat rendah

Cinta jenis ini ada beberapa macam:

1. Mencintai thougut dan sesembahan selain Allah, seperti menyembah manusai, batu dsb.

Qs. 2: 165

“Diantara manusia ada orang2 yg menyembah tuhan2 selain Allah. Mereka mencintai tuhan itu sebagaimana mereka ( org2 mukmin yg mukhlis) mencintai Allah. Adapun org2 yg beriman jauh lebih besar cintanya kepada Allah (disbanding cinta org2 kafir terhadap tuhan2 mereka)…”

2. Menjalin tali kasih kepada musuh2 Allah.

Qs. 60:1

“Hai org2 yg beriman, jgnlah kalian menjadikan musuhKU dan musuh kalian sebagai teman2 setia, yg kalian sampaikan kepada mereka (rahasia org2 mukmin) karena kasih sayang (kepada mereka), padahal sebenarnya mereka telah ingkar terhadap kebenaran (kitab dan Rasul) yg datang kepada kalian..”

3. Mengumbar syahwat dan berkubang dalam Lumpur kekejian dan kehinaan.

Qs.3:14

“Dijadikanlah indah pada (hati) manusia kecintaan kepada apa2 yg diingini, yaitu wanita2…”

4. Mencintai ayah,ibu,anak, istri, suami, keluarga, karir, tanah air melebihi cintanya kepada Allah, RasulNya dan Jihad dijalannya.

Qs.9:24.

“Jika bapak2, anak2, saudara2, pasangan2, dan kaum keluarga kalian, harta kekayaan yg kalian usahakan, perniagaan yg kalian khawatirkan kerugiannya, dan rumah2 tempat tinggal yg kalian sukai, lebih kalian cintai daripada Allah, Rasul-Nya dan (daripada) jihad di jalanNYa, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan siksaNya. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang2 yg fasik”

Nabi salallahu ‘alaihiwassalam bersabda:

“Tidak sempurna iman seseorg dari kalian hingga aku lebih dia cintai daripada bapak-ibunya, anaknyadan seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim).

5. Menuhankan hawa nafsunya,

Qs. 45:23

“ Bagaimanakah pendapatmu tentang org menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membirakannya sesat berdasarkan ilmuNya?…

Dengan demikian bagi seorang mukmin yg telah diliputi oleh manisnya iman, maka ia tidak akan rela jika dirinya diliputi oleh cinta pada tingkatan yg rendah yg akan membunuh karakter manusia dan menghancurkan kemuliaannya. Bahkan ia akan menjaga kesetiaannya hanya kepada Allah saja. Dia akan menjaga cintanya untuk tidak akan memberikannya kepada mush2 Islam, Dia akan menjaga syahwatnya, dan tidak melakukannya dijalan yg bahtil.Dia tidak akan mencintai kekayaannya, pasangan, anak, orag tuanya, keluarganya, kedudukannya melebihi cintanya kepada Allah, RasulNya dan jihad dijalanNya.

Pada akhirnya hanya diri kita sendiri yg akan menentukan pada tingkatan cinta yg mana kita berada. Dan hal ini hanya Allah dan diri kita saja yg tahu.

Semoga Allah senantiasa menjaga diri kita agar tidak terjebak pada cinta tingkat rendah.

Ini saja yg biasa saya sampaikan, mohon maaf atas segala kekhilafan. Kebenaran hanyalah milik Allah SWT.

Dikisahkan, suatu ketika Rasulullah Saw melihat sebuah lembaran yang terbuat dari mutiara yang sangat langka, yang berada di bawah Singgasana Allah Swt. Beliau juga melihat lembaran lain yang terbuat dari zamrud. Di atas lembaran yang pertama terdapat Surah Al Fatihah, yang berisi 7 ayat. Sedangkan di atas lembaran yang kedua, Rasulullah Saw melihat seluruh isi Al Quran.

Beliau lalu bertanya kepada Malaikat Jibril As, “Wahai Jibril, apa ganjaran bagi orang yang membaca Surah Pembuka itu?”. Jibril As menjawab, “Tujuh pintu neraka akan ditutup baginya dan tujuh pintu surga akan dibuka baginya”.

Rasulullah Saw lalu bertanya lagi, “Wahai Jibril, apa ganjaran bagi yang membaca seluruh Al Quran?”. Jibril As menjawab, “Untuk setiap huruf yang ia baca, Allah akan menciptakan satu malaikat yang akan menanam sebatang pohon untuknya di surga”.

Lalu Rasulullah Saw melihat pula 3 cahaya memancar ke 3 arah. Beliau bertanya, “Apakah itu, wahai Jibril?”. Jibril As menjawab, “Salah satunya adalah cahaya dari Ayat Kursi, kedua adalah cahaya Surah Yaa Siin dan yang ketiga adalah cahaya Surah Al Ikhlas”.

Rasulullah Saw lalu bertanya lagi, “Wahai Jibril, apa ganjaran bagi mereka yang membaca Ayat Kursi?”. Jibril As menjawab, “Allah berfirman,’Inilah sifat-Ku, dan siapapun yang membaca akan melihat-Ku di Hari Kiamat tanpa penghalang”.

Lalu Rasulullah bertanya lagi, “Apa ganjaran bagi orang yang membaca Surah Yaa Siin?”. Jibril As menjawab, “Jawaban yang sama dari Allah. Siapapun yang membacanya akan menerima 80 rahmat. Dua puluh malaikat akan membawakan 20 rahmat pada kehidupannya. Dua puluh malaikat lain akan membawakan 20 rahmat pada kematiannya. Dua puluh malaikat lain akan membawakan 20 rahmat pada kuburnya. Dua puluh malaikat lain akan membawakan 20 rahmat pada Hari Kiamat”.

Rasulullah Saw bertanya, “Apa ganjaran bagi mereka yang membaca Surah Al Ikhlas?”. “Para malaikat akan memberinya minuman dari 4 sungai yang amat nikmat, yang disebut dalam Al Quran: sungai air kristal murni, sungai susu, sungai anggur dan sungai madu”.

Taken from book of Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani; Angels Unveiled: A Sufi Perspective (translated).

Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadits, “Bukankah engkau telah bersaksi, bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku ini utusan-Nya?. Ketahuilah wahai manusia, sesungguhnya salah satu ujung dari Al Quran itu berada di sisi Allah, dan ujung lainnya berada di tanganmu sekalian. Maka berpegang teguhlah padanya, karena sesungguhnya kamu sekalian tidak akan sesat dan binasa selamanya (bila berpegang teguh pada Al Quran)”.



PENGERTIAN BID’AH

Bid’ah menurut bahasa, diambil dari bida’ yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh. Sebelumnya Allah berfirman.

Badiiu’ as-samaawaati wal ardli
“Artinya : Allah pencipta langit dan bumi” [Al-Baqarah : 117]

Artinya adalah Allah yang mengadakannya tanpa ada contoh sebelumnya.

Juga firman Allah.

Qul maa kuntu bid’an min ar-rusuli
“Artinya : Katakanlah : ‘Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul”. [Al-Ahqaf : 9].

Maksudnya adalah : Aku bukanlah orang yang pertama kali datang dengan risalah ini dari Allah Ta’ala kepada hamba-hambanya, bahkan telah banyak sebelumku dari para rasul yang telah mendahuluiku.

Dan dikatakan juga : “Fulan mengada-adakan bid’ah”, maksudnya : memulai satu cara yang belum ada sebelumnya.

Dan perbuatan bid’ah itu ada dua bagian :

[1] Perbuatan bid’ah dalam adat istiadat (kebiasaan) ; seperti adanya penemuan-penemuan baru dibidang IPTEK (juga termasuk didalamnya penyingkapan-penyingkapan ilmu dengan berbagai macam-macamnya). Ini adalah mubah (diperbolehkan) ; karena asal dari semua adat istiadat (kebiasaan) adalah mubah.

[2] Perbuatan bid’ah di dalam Ad-Dien (Islam) hukumnya haram, karena yang ada dalam dien itu adalah tauqifi (tidak bisa dirubah-rubah) ; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Artinya : Barangsiapa yang mengadakan hal yang baru (berbuat yang baru) di dalam urusan kami ini yang bukan dari urusan tersebut, maka perbuatannya di tolak (tidak diterima)”. Dan di dalam riwayat lain disebutkan : “Artinya : Barangsiapa yang berbuat suatu amalan yang bukan didasarkan urusan kami, maka perbuatannya di tolak”.

MACAM-MACAM BID’AH

Bid’ah Dalam Ad-Dien (Islam) Ada Dua Macam :

[1] Bid’ah qauliyah ‘itiqadiyah : Bid’ah perkataan yang keluar dari keyakinan, seperti ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Rafidhah serta semua firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang sesat sekaligus keyakinan-keyakinan mereka.

[2] Bid’ah fil ibadah : Bid’ah dalam ibadah : seperti beribadah kepada Allah dengan apa yang tidak disyari’atkan oleh Allah : dan bid’ah dalam ibadah ini ada beberapa bagian yaitu :

[a]. Bid’ah yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah : yaitu mengadakan suatu ibadah yang tidak ada dasarnya dalam syari’at Allah Ta’ala, seperti mengerjakan shalat yang tidak disyari’atkan, shiyam yang tidak disyari’atkan, atau mengadakan hari-hari besar yang tidak disyariatkan seperti pesta ulang tahun, kelahiran dan lain sebagainya.

[b]. Bid’ah yang bentuknya menambah-nambah terhadap ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat kelima pada shalat Dhuhur atau shalat Ashar.

[c]. Bid’ah yang terdapat pada sifat pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan ibadah yang sifatnya tidak disyari’atkan seperti membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan dengan cara berjama’ah dan suara yang keras. Juga seperti membebani diri (memberatkan diri) dalam ibadah sampai keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

[d]. Bid’ah yang bentuknya menghususkan suatu ibadah yang disari’atkan, tapi tidak dikhususkan oleh syari’at yang ada. Seperti menghususkan hari dan malam nisfu Sya’ban (tanggal 15 bulan Sya’ban) untuk shiyam dan qiyamullail. Memang pada dasarnya shiyam dan qiyamullail itu di syari’atkan, akan tetapi pengkhususannya dengan pembatasan waktu memerlukan suatu dalil.

HUKUM BID’AH DALAM AD-DIEN

Segala bentuk bid’ah dalam Ad-Dien hukumnya adalah haram dan sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Artinya : Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru, karena sesungguhnya mengadakan hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat”. [Hadits Riwayat Abdu Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih].

Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Artinya : Barangsiapa mengadakan hal yang baru yang bukan dari kami maka perbuatannya tertolak”.

Dan dalam riwayat lain disebutkan :

“Artinya : Barangsiapa beramal suatu amalan yang tidak didasari oleh urusan kami maka amalannya tertolak”.

Maka hadits tersebut menunjukkan bahwa segala yang diada-adakan dalam Ad-Dien (Islam) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat dan tertolak.

Artinya bahwa bid’ah di dalam ibadah dan aqidah itu hukumnya haram.

Tetapi pengharaman tersebut tergantung pada bentuk bid’ahnya, ada diantaranya yang menyebabkan kafir (kekufuran), seperti thawaf mengelilingi kuburan untuk mendekatkan diri kepada ahli kubur, mempersembahkan sembelihan dan nadzar-nadzar kepada kuburan-kuburan itu, berdo’a kepada ahli kubur dan minta pertolongan kepada mereka, dan seterusnya. Begitu juga bid’ah seperti bid’ahnya perkataan-perkataan orang-orang yang melampui batas dari golongan Jahmiyah dan Mu’tazilah. Ada juga bid’ah yang merupakan sarana menuju kesyirikan, seperti membangun bangunan di atas kubur, shalat berdo’a disisinya. Ada juga bid’ah yang merupakan fasiq secara aqidah sebagaimana halnya bid’ah Khawarij, Qadariyah dan Murji’ah dalam perkataan-perkataan mereka dan keyakinan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan ada juga bid’ah yang merupakan maksiat seperti bid’ahnya orang yang beribadah yang keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shiyam yang dengan berdiri di terik matahari, juga memotong tempat sperma dengan tujuan menghentikan syahwat jima’ (bersetubuh).

Catatan :
Orang yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah syayyiah (jelek) adalah salah dan menyelesihi sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Artinya : Sesungguhnya setiap bentuk bid’ah adalah sesat”.

Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghukumi semua bentuk bid’ah itu adalah sesat ; dan orang ini (yang membagi bid’ah) mengatakan tidak setiap bid’ah itu sesat, tapi ada bid’ah yang baik !

Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan dalam kitabnya “Syarh Arba’in” mengenai sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Setiap bid’ah adalah sesat”, merupakan (perkataan yang mencakup keseluruhan) tidak ada sesuatupun yang keluar dari kalimat tersebut dan itu merupakan dasar dari dasar Ad-Dien, yang senada dengan sabdanya : “Artinya : Barangsiapa mengadakan hal baru yang bukan dari urusan kami, maka perbuatannya ditolak”. Jadi setiap orang yang mengada-ada sesuatu kemudian menisbahkannya kepada Ad-Dien, padahal tidak ada dasarnya dalam Ad-Dien sebagai rujukannya, maka orang itu sesat, dan Islam berlepas diri darinya ; baik pada masalah-masalah aqidah, perbuatan atau perkataan-perkataan, baik lahir maupun batin.

Dan mereka itu tidak mempunyai dalil atas apa yang mereka katakan bahwa bid’ah itu ada yang baik, kecuali perkataan sahabat Umar Radhiyallahu ‘anhu pada shalat Tarawih : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”, juga mereka berkata : “Sesungguhnya telah ada hal-hal baru (pada Islam ini)”, yang tidak diingkari oleh ulama salaf, seperti mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu kitab, juga penulisan hadits dan penyusunannya”.

Adapun jawaban terhadap mereka adalah : bahwa sesungguhnya masalah-masalah ini ada rujukannya dalam syari’at, jadi bukan diada-adakan. Dan ucapan Umar Radhiyallahu ‘anhu : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”, maksudnya adalah bid’ah menurut bahasa dan bukan bid’ah menurut syariat. Apa saja yang ada dalilnya dalam syariat sebagai rujukannya jika dikatakan “itu bid’ah” maksudnya adalah bid’ah menurut arti bahasa bukan menurut syari’at, karena bid’ah menurut syariat itu tidak ada dasarnya dalam syariat sebagai rujukannya.

Dan pengumpulan Al-Qur’an dalam satu kitab, ada rujukannya dalam syariat karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan penulisan Al-Qur’an, tapi penulisannya masih terpisah-pisah, maka dikumpulkan oleh para sahabat Radhiyallahu anhum pada satu mushaf (menjadi satu mushaf) untuk menjaga keutuhannya.

Juga shalat Tarawih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat secara berjama’ah bersama para sahabat beberapa malam, lalu pada akhirnya tidak bersama mereka (sahabat) khawatir kalau dijadikan sebagai satu kewajiban dan para sahabat terus sahalat Tarawih secara berkelompok-kelompok di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup juga setelah wafat beliau sampai sahabat Umar Radhiyallahu ‘anhu menjadikan mereka satu jama’ah di belakang satu imam. Sebagaimana mereka dahulu di belakang (shalat) seorang dan hal ini bukan merupakan bid’ah dalam Ad-Dien.

Begitu juga halnya penulisan hadits itu ada rujukannya dalam syariat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menulis sebagian hadits-hadist kepada sebagian sahabat karena ada permintaan kepada beliau dan yang dikhawatirkan pada penulisan hadits masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara umum adalah ditakutkan tercampur dengan penulisan Al-Qur’an. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat, hilanglah kekhawatiran tersebut ; sebab Al-Qur’an sudah sempurna dan telah disesuaikan sebelum wafat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka setelah itu kaum muslimin mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai usaha untuk menjaga agar supaya tidak hilang ; semoga Allah Ta’ala memberi balasan yang baik kepada mereka semua, karena mereka telah menjaga kitab Allah dan Sunnah Nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak kehilangan dan tidak rancu akibat ulah perbuatan orang-orang yang selalu tidak bertanggung jawab.

[Disalin dari buku Al-Wala & Al-Bara Tentang Siapa Yang harus Dicintai & Harus Dimusuhi oleh Orang Islam, oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, terbitan At-Tibyan Solo, hal 47-55, penerjemah Endang Saefuddin.]

Wanita Ahli Surga dan Ciri-Cirinya


Setiap insan tentunya mendambakan kenikmatan yang paling tinggi dan abadi. Kenikmatan itu adalah Surga. Di dalamnya terdapat bejana-bejana dari emas dan perak, istana yang megah dengan dihiasi beragam permata, dan berbagai macam kenikmatan lainnya yang tidak pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga, dan terbetik di hati.

Dalam Al Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menggambarkan kenikmatan-kenikmatan Surga. Di antaranya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“(Apakah) perumpamaan (penghuni) Surga yang dijanjikan kepada orang-orang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tidak berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamr (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya, dan sungai-sungai dari madu yang disaring dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka sama dengan orang yang kekal dalam neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya?” (QS. Muhammad: 15)

“Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk Surga). Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah). Berada dalam Surga kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian. Mereka berada di atas dipan yang bertahtakan emas dan permata seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan. Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda dengan membawa gelas, cerek, dan sloki (piala) berisi minuman yang diambil dari air yang mengalir, mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih dan daging burung dari apa yang mereka inginkan.” (QS. Al Waqiah: 10-21)

Di samping mendapatkan kenikmatan-kenikmatan tersebut, orang-orang yang beriman kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala kelak akan mendapatkan pendamping (istri) dari bidadari-bidadari Surga nan rupawan yang banyak dikisahkan dalam ayat-ayat Al Qur’an yang mulia, diantaranya:

“Dan (di dalam Surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli laksana mutiara yang tersimpan baik.” (QS. Al Waqiah: 22-23)

“Dan di dalam Surga-Surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan, menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni Surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin.” (QS. Ar Rahman: 56)

“Seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan.” (QS. Ar Rahman: 58)

“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (QS. Al Waqiah: 35-37)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menggambarkan keutamaan-keutamaan wanita penduduk Surga dalam sabda beliau:

“ … seandainya salah seorang wanita penduduk Surga menengok penduduk bumi niscaya dia akan menyinari antara keduanya (penduduk Surga dan penduduk bumi) dan akan memenuhinya bau wangi-wangian. Dan setengah dari kerudung wanita Surga yang ada di kepalanya itu lebih baik daripada dunia dan isinya.” (HR. Bukhari dari Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu)

Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:

Sesungguhnya istri-istri penduduk Surga akan memanggil suami-suami mereka dengan suara yang merdu yang tidak pernah didengarkan oleh seorangpun. Diantara yang didendangkan oleh mereka: “Kami adalah wanita-wanita pilihan yang terbaik. Istri-istri kaum yang termulia. Mereka memandang dengan mata yang menyejukkan.” Dan mereka juga mendendangkan: “Kami adalah wanita-wanita yang kekal, tidak akan mati. Kami adalah wanita-wanita yang aman, tidak akan takut. Kami adalah wanita-wanita yang tinggal, tidak akan pergi.” (Shahih Al Jami’ nomor 1557)

Apakah Ciri-Ciri Wanita Surga

Apakah hanya orang-orang beriman dari kalangan laki-laki dan bidadari-bidadari saja yang menjadi penduduk Surga? Bagaimana dengan istri-istri kaum Mukminin di dunia, wanita-wanita penduduk bumi?

Istri-istri kaum Mukminin yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tersebut akan tetap menjadi pendamping suaminya kelak di Surga dan akan memperoleh kenikmatan yang sama dengan yang diperoleh penduduk Surga lainnya, tentunya sesuai dengan amalnya selama di dunia.

Tentunya setiap wanita Muslimah ingin menjadi ahli Surga. Pada hakikatnya wanita ahli Surga adalah wanita yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Seluruh ciri-cirinya merupakan cerminan ketaatan yang dia miliki. Diantara ciri-ciri wanita ahli Surga adalah:

1. Bertakwa.

2. Beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari kiamat, dan beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.

3. Bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah, bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadlan, dan naik haji bagi yang mampu.

4. Ihsan, yaitu beribadah kepada Allah seakan-akan melihat Allah, jika dia tidak dapat melihat Allah, dia mengetahui bahwa Allah melihat dirinya.

5. Ikhlas beribadah semata-mata kepada Allah, tawakkal kepada Allah, mencintai Allah dan Rasul-Nya, takut terhadap adzab Allah, mengharap rahmat Allah, bertaubat kepada-Nya, dan bersabar atas segala takdir-takdir Allah serta mensyukuri segala kenikmatan yang diberikan kepadanya.

6. Gemar membaca Al Qur’an dan berusaha memahaminya, berdzikir mengingat Allah ketika sendiri atau bersama banyak orang dan berdoa kepada Allah semata.

7. Menghidupkan amar ma’ruf dan nahi mungkar pada keluarga dan masyarakat.

8. Berbuat baik (ihsan) kepada tetangga, anak yatim, fakir miskin, dan seluruh makhluk, serta berbuat baik terhadap hewan ternak yang dia miliki.

9. Menyambung tali persaudaraan terhadap orang yang memutuskannya, memberi kepada orang, menahan pemberian kepada dirinya, dan memaafkan orang yang mendhaliminya.

10. Berinfak, baik ketika lapang maupun dalam keadaan sempit, menahan amarah dan memaafkan manusia.

11. Adil dalam segala perkara dan bersikap adil terhadap seluruh makhluk.

12. Menjaga lisannya dari perkataan dusta, saksi palsu dan menceritakan kejelekan orang lain (ghibah).

13. Menepati janji dan amanah yang diberikan kepadanya.

14. Berbakti kepada kedua orang tua.

15. Menyambung silaturahmi dengan karib kerabatnya, sahabat terdekat dan terjauh.

Demikian beberapa ciri-ciri wanita Ahli Surga yang kami sadur dari kitab Majmu’ Fatawa karya Syaikhul Islam Ibnu Tamiyyah juz 11 halaman 422-423. Ciri-ciri tersebut bukan merupakan suatu batasan tetapi ciri-ciri wanita Ahli Surga seluruhnya masuk dalam kerangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman:

“ … dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. An Nisa’: 13)



  1. "Yaa Siin. "

  2. "Demi Al Qur'an yang penuh hikmah,"

  3. "sesungguhnya kamu salah seorang dari rasul-rasul,"

  4. "(yang berada) di atas jalan yang lurus,"

  5. "(sebagai wahyu) yang diturunkan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang."

  6. "agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang bapak-bapak mereka belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai. "

  7. "Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman. "

  8. "Sesungguhnya Kami telah memasang belenggu di leher mereka, lalu tangan mereka (diangkat) ke dagu, maka karena itu mereka tertengadah."

  9. "Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat."

  10. "Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman."

  11. "Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah walaupun dia tidak melihatNya. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia. "

  12. "Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh)."

Setelah kita mengetahui tentang tujuan menikah maka Islam juga mengajarkan kepada umatnya untuk berhati-hati dalam memilih pasangan hidup karena hidup berumah tangga tidak hanya untuk satu atau dua tahun saja, akan tetapi diniatkan untuk selama-lamanya sampai akhir hayat kita.

Muslim atau Muslimah dalam memilih calon istri atau suami tidaklah mudah tetapi membutuhkan waktu. Karena kriteria memilih harus sesuai dengan syariat Islam. Orang yang hendak menikah, hendaklah memilih pendamping hidupnya dengan cermat, hal ini dikarenakan apabila seorang Muslim atau Muslimah sudah menjatuhkan pilihan kepada pasangannya yang berarti akan menjadi bagian dalam hidupnya. Wanita yang akan menjadi istri atau ratu dalam rumah tangga dan menjadi ibu atau pendidik bagi anak-anaknya demikian pula pria menjadi suami atau pemimpin rumah tangganya dan bertanggung jawab dalam menghidupi (memberi nafkah) bagi anak istrinya. Maka dari itu, janganlah sampai menyesal terhadap pasangan hidup pilihan kita setelah berumah tangga kelak.

Lalu bagaimanakah supaya kita selamat dalam memilih pasangan hidup untuk pendamping kita selama-lamanya? Apakah kriteria-kriteria yang disyariatkan oleh Islam dalam memilih calon istri atau suami?

A. Kriteria Memilih Calon Istri

Dalam memilih calon istri, Islam telah memberikan beberapa petunjuk di antaranya :

1. Hendaknya calon istri memiliki dasar pendidikan agama dan berakhlak baik karena wanita yang mengerti agama akan mengetahui tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda : “Perempuan itu dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya, lalu pilihlah perempuan yang beragama niscaya kamu bahagia.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Dalam hadits di atas dapat kita lihat, bagaimana beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menekankan pada sisi agamanya dalam memilih istri dibanding dengan harta, keturunan, bahkan kecantikan sekalipun.

Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang Mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu … .” (QS. Al Baqarah : 221)

Sehubungan dengan kriteria memilih calon istri berdasarkan akhlaknya, Allah berfirman :

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula) … .” (QS. An Nur : 26)

Seorang wanita yang memiliki ilmu agama tentulah akan berusaha dengan ilmu tersebut agar menjadi wanita yang shalihah dan taat pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wanita yang shalihah akan dipelihara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana firman-Nya :

“Maka wanita-wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara dirinya, oleh karena itu Allah memelihara mereka.” (QS. An Nisa’ : 34)

Sedang wanita shalihah bagi seorang laki-laki adalah sebaik-baik perhiasan dunia.

“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim)

2. Hendaklah calon istri itu penyayang dan banyak anak.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah bersabda :

Dari Anas bin Malik, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : ” … kawinilah perempuan penyayang dan banyak anak … .” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)

Al Waduud berarti yang penyayang atau dapat juga berarti penuh kecintaan, dengan dia mempunyai banyak sifat kebaikan, sehingga membuat laki-laki berkeinginan untuk menikahinya.

Sedang Al Mar’atul Waluud adalah perempuan yang banyak melahirkan anak. Dalam memilih wanita yang banyak melahirkan anak ada dua hal yang perlu diketahui :

a. Kesehatan fisik dan penyakit-penyakit yang menghalangi dari kehamilan. Untuk mengetahui hal itu dapat meminta bantuan kepada para spesialis. Oleh karena itu seorang wanita yang mempunyai kesehatan yang baik dan fisik yang kuat biasanya mampu melahirkan banyak anak, disamping dapat memikul beban rumah tangga juga dapat menunaikan kewajiban mendidik anak serta menjalankan tugas sebagai istri secara sempurna.

b. Melihat keadaan ibunya dan saudara-saudara perempuan yang telah menikah sekiranya mereka itu termasuk wanita-wanita yang banyak melahirkan anak maka biasanya wanita itu pun akan seperti itu.

3. Hendaknya memilih calon istri yang masih gadis terutama bagi pemuda yang belum pernah nikah.

Hal ini dimaksudkan untuk mencapai hikmah secara sempurna dan manfaat yang agung, di antara manfaat tersebut adalah memelihara keluarga dari hal-hal yang akan menyusahkan kehidupannya, menjerumuskan ke dalam berbagai perselisihan, dan menyebarkan polusi kesulitan dan permusuhan. Pada waktu yang sama akan mengeratkan tali cinta kasih suami istri. Sebab gadis itu akan memberikan sepenuh kehalusan dan kelembutannya kepada lelaki yang pertama kali melindungi, menemui, dan mengenalinya. Lain halnya dengan janda, kadangkala dari suami yang kedua ia tidak mendapatkan kelembutan hati yang sesungguhnya karena adanya perbedaan yang besar antara akhlak suami yang pertama dan suami yang kedua. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjelaskan sebagian hikmah menikahi seorang gadis :

Dari Jabir, dia berkata, saya telah menikah maka kemudian saya mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan bersabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Apakah kamu sudah menikah ?” Jabir berkata, ya sudah. Bersabda Rasulullah : “Perawan atau janda?” Maka saya menjawab, janda. Rasulullah bersabda : “Maka mengapa kamu tidak menikahi gadis perawan, kamu bisa bermain dengannya dan dia bisa bermain denganmu.”

4. Mengutamakan orang jauh (dari kekerabatan) dalam perkawinan.

Hal ini dimaksudkan untuk keselamatan fisik anak keturunan dari penyakit-penyakit yang menular atau cacat secara hereditas.

Sehingga anak tidak tumbuh besar dalam keadaan lemah atau mewarisi cacat kedua orang tuanya dan penyakit-penyakit nenek moyangnya.

Di samping itu juga untuk memperluas pertalian kekeluargaan dan mempererat ikatan-ikatan sosial.

B. Kriteria Memilih Calon Suami

1. Islam.

Ini adalah kriteria yang sangat penting bagi seorang Muslimah dalam memilih calon suami sebab dengan Islamlah satu-satunya jalan yang menjadikan kita selamat dunia dan akhirat kelak.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“ … dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al Baqarah : 221)

2. Berilmu dan Baik Akhlaknya.

Masa depan kehidupan suami-istri erat kaitannya dengan memilih suami, maka Islam memberi anjuran agar memilih akhlak yang baik, shalih, dan taat beragama.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Apabila kamu sekalian didatangi oleh seseorang yang Dien dan akhlaknya kamu ridhai maka kawinkanlah ia. Jika kamu sekalian tidak melaksanakannya maka akan terjadi fitnah di muka bumi ini dan tersebarlah kerusakan.” (HR. At Tirmidzi)

Islam memiliki pertimbangan dan ukuran tersendiri dengan meletakkannya pada dasar takwa dan akhlak serta tidak menjadikan kemiskinan sebagai celaan dan tidak menjadikan kekayaan sebagai pujian. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (nikah) dan hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nur : 32)

Laki-laki yang memilki keistimewaan adalah laki-laki yang mempunyai ketakwaan dan keshalihan akhlak. Dia mengetahui hukum-hukum Allah tentang bagaimana memperlakukan istri, berbuat baik kepadanya, dan menjaga kehormatan dirinya serta agamanya, sehingga dengan demikian ia akan dapat menjalankan kewajibannya secara sempurna di dalam membina keluarga dan menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai suami, mendidik anak-anak, menegakkan kemuliaan, dan menjamin kebutuhan-kebutuhan rumah tangga dengan tenaga dan nafkah.

Jika dia merasa ada kekurangan pada diri si istri yang dia tidak sukai, maka dia segera mengingat sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yaitu :

Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata, bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Jangan membenci seorang Mukmin (laki-laki) pada Mukminat (perempuan) jika ia tidak suka suatu kelakuannya pasti ada juga kelakuan lainnya yang ia sukai.” (HR. Muslim)

Sehubungan dengan memilih calon suami untuk anak perempuan berdasarkan ketakwaannya, Al Hasan bin Ali rahimahullah pernah berkata pada seorang laki-laki :

“Kawinkanlah puterimu dengan laki-laki yang bertakwa sebab jika laki-laki itu mencintainya maka dia akan memuliakannya, dan jika tidak menyukainya maka dia tidak akan mendzaliminya.”

Untuk dapat mengetahui agama dan akhlak calon suami, salah satunya mengamati kehidupan si calon suami sehari-hari dengan cara bertanya kepada orang-orang dekatnya, misalnya tetangga, sahabat, atau saudara dekatnya.

Demikianlah ajaran Islam dalam memilih calon pasangan hidup. Betapa sempurnanya Islam dalam menuntun umat disetiap langkah amalannya dengan tuntunan yang baik agar selamat dalam kehidupan dunia dan akhiratnya. Wallahu A’lam Bis Shawab.





HALAL DAN HARAM MENURUT ISLAM


Allah SWT berfirman didalam Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah Ayat 188:

Dan janganlah sebagian dari kamu memakan harta sebagian yang yang lain secara batil, dan jangan pula membawa urusan harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, sedangkan kamu mengetahui.
Keadaan pada waktu turunnya ayat ini disebutkan dalam Ruhul-Maa’ani.
Dua orang sahabat Nabi Muhammad SAW telah berselisih soal sebidang lahan dan membawa persoalan itu kepada beliau. Si penuntut tidak memiliki seorang saksipun untuk mendukung tuntutannya. Rasulullah SAW bertanya kepada pihak tertuntut, “Sanggupkah kamu bersumpah demi Allah bahwa lahan itu milikmu?” Ia setuju. Rasulullah SAW, selanjutnya membaca sebuah ayat dari Al-Qur’an untuk peringatan sebelum bersumpah. Yang beliau baca adalah Ayat 77 dari Surat Ali Imran:

Sesungguhnya, barangsiapa menukar janjinya kepada Allah dengan sumpah-sumpah mereka demi mengambil sedikit keuntungan, maka ia tidak akan mendapatkan bagian (pahala)-nya di akhirat, dan Allah tidak akan berbicara dengan mereka ataupun melihat kearah mereka di Hari Pembalasan, dan tidak pula mereka akan disucikan-Nya. Bagi mereka adalah siksaan yang pedih.

Pemilik lahan yang sekarang menyimak ayat tersebut dan menolak untuk mengangkat sumpah. Ia sangat takut jangan-jangan terdapat kekaburan ataupun kerancuan dalam hal kepemilikan lahan yang diperselisihkan itu dan ia tidak mau menjadi pecundang di Hari Pembalasan kelak. Selanjutnya Nabi SAW menyerahkan lahan itu kepada si penuntut. Perlu diingat bahwa ayat ini telah diturunkan untuk mencegah penguasaan atas kepemilikan orang lain secara curang/ilegal. Serupa juga dengan hal diatas yaitu ; memalsukan bukti kepemilikan / legalitas sertifikat, bersumpah palsu dan memberi kesaksian yang tidak benar, semuanya itu Haram hukumnya. Pada ayat yang terdahulu, ada hal yang sangat menarik, yakni penggunaan kata ‘Bainakum’ (=diantara kamu sekalian). Allah SWT mengajarkan kepada kita bahwa jika kita menyerobot hak-milik/harta orang lain, maka perbuatan inipun sebaliknya akan juga mendorong orang lain untuk berani menyerobot hak-milik/harta kita. Sebagai contoh, jika seseorang mencampurkan air kedalam susu, yang lain pun menjual bahan makanan yang tidak lagi murni, yang lainnya lagi menjual kurma campuran. Begitulah, masing-masing diantara mereka saling memakan harta yang lain secara batil. Jadi, sebenarnya sama halnya semakin bertambah-tambah sajalah seseorang memakan hartanya sendiri secara batil dan tak satupun yang menjadi pemenang dalam perbuatan saling mencurangi ini. Pelajaran kedua adalah, bahwa hal demikian menyakiti orang yang dirugikan hartanya, sebagaimana sakitnya jika anda yang dirugikan. Maka, perlakukanlah harta orang lain sebagaimana kamu menjaga hartamu sendiri.

Umi Salamah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Aku adalah manusia biasa sebagaimana kalian. Kalian mengadukan perselisihan diantara kalian kepadaku. Boleh jadi salah seorang diantaramu menyajikan pembelaan/alasan yang lebih kuat dan mengesankan sehingga aku terarahkan untuk memutuskan sesuai keinginannya. Tetapi janganlah kalian lupa bahwa yang mengetahui yang sebenarnya hanyalah Allah SWT. Jika bukan hakmu janganlah engkau ambil. Karena bisa saja yang aku serahkan kepadamu kelak menjadi sepetak tempat di Neraka.” (Bukhari dan Muslim)
Kesimpulannya, tak satupun pengadilan, walaupun itu pengadilannya Rasulullah SAW, yang dapat mengubah yang halal menjadi haram, yang haq menjadi bathil, ataupun sebaliknya.
Banyak ayat-ayat AL-Qur’an yang membahas hal serupa. Antara lain dalam Surat Al-Baqarah Ayat 168, Allah SWT berfirman:

Wahai manusia, makanlah yang halal dan baik (thayiban) dari apa-apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kalian ikuti langkah-langkah syeitan. Sungguh, syeitan itu musuh yang nyata bagimu.

Allah SWT pun berfirman untuk hal serupa, didalam Surat An-Nahl Ayat 114:

Maka, makanlah dari rizki yang diberikan Allah kepadamu yang halal lagi baik, dan bersyukurlah atas nikmat Allah jika benar ibadah(pengabdian)-mu hanya kepada-Nya semata.

Kedua ayat diatas sama-sama menggunakan istilah ‘halaalan thayiban’ (halal lagi baik). Halal artinya, apa-apa yang diperbolehkan (tanpa ada ikatan ataupun larangan). Thayib berarti, lebih dari sekedar diperbolehkan, kitapun menyukainya ataupun berselera untuk memakannya.

Sampai disini kita dapat menyimpulkan bahwa kebajikan tidak bisa menjelma kecuali kita mengkonsumsi yang baik-baik. Nabi Muhammad SAW menerangkan ayat ini dengan menekankan bahwa perintah ini tidak hanya untuk para nabi, tetapi juga untuk para pengikutnya. Rasulullah SAW bersabda bahwasanya tidaklah diterima ibadahnya seseorang yang memakan barang yang haram. Beliaupun menambahkan: ”Banyak orang berusaha sekuat tenaga untuk beribadah kepada Allah lalu mengangkat kedua tangannya seraya memohon, “Ya Allah! Ya Allah! kumohon pada-Mu, terimalah ibadahku.” Tetapi jika makanannya haram, minumannya juga haram, pakaiannya pun haram, bagaimana mungkin do’a mereka itu akan dikabulkan?” (Muslim dan Tirmidzi)

Rasulullah SAW beberapa kali bersabda untuk menjelaskan perihal halal dan haram kepada kita umatnya yang beliau kasihi. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa makan dari yang halal karena mengikuti sunnahku dan tidak berbuat aniaya kepada orang lain, maka ia akan memperoleh surga.” Para sahabat menanggapi, ”Ya Rasulullah, bukankah hal demikian lumrah dilakukan pengikutmu sekarang ini?” Rasulullah menjawab, “Dan nanti di suatu masa yang akan datang pun banyak orang yang mengikuti perilaku ini.” (Tirmidzi).

Abdullah bin Umar RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Jika kamu mempunyai empat perilaku berikut ini, maka itu cukup bagimu, meskipun kamu tidak mendapatkan keuntungan selain itu di dunia ini:
(a) Memelihara amanah (b) berbicara jujur (c) Memperlakukan orang lain dengan baik (d) Makan dari yang halal saja.

Suatukali, Sa’ad bin Abi Waqqas RA meminta kepada Rasulullah SAW untuk mendoakannya supaya doa yang ia panjatkan dikabulkan Allah SWT. Maka Rasulullah bersabda kepadanya: “Wahai Sa’ad, jika kamu makan dari yang halal dan thayib, Allah akan menjawab semua permohonanmu.” Rasulullah kemudian menambahkan, “Aku bersumpah demi Allah yang nyawaku dalam genggaman-Nya, jika seseorang makan sedikit saja dari yang haram, tak sedikitpun ibadahnya diterima Allah SWT selama empatpuluh hari. Bilamana daging yang membentuk tubuh seseorang terbuat dari unsur yang haram maka hanya api neraka sajalah yang patut bagi tubuhnya.”

Mu’az bin Jabal RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Ketika kita dikumpulkan di Hari Pembalasan, tak seorangpun dapat meninggalkan tempatnya berdiri sehingga ia menjawab lima pertanyaan berikut ini:
1. Umurnya, dimanfaatkan untuk apa selama hidupnya?
2. Masa mudanya, bagaimana ia pergunakan?
3. Hartanya, dari mana ia peroleh?
4. Bagaimana dan kemanakah hartanya ia belanjakan?
5. Ilmu yang didapat, seberapa banyakkah ia amalkan? (Al-Baihaqi)

Abdullah bin Mas’ud RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Demi Tuhan yang nyawaku ada dalam genggaman-Nya, Aku bersumpah bahwa belum sempurna ke-Islam-an seseorang sehingga hati dan lisannya menjadi Muslim dan tetangganya merasa aman dari segala bentuk bahaya yang bisa ia timbulkan. Ketika seseorang memiliki harta yang haram dan disedekahkannya maka Allah tidak menerimanya. Jika dibelanjakannya tidak akan berkah. Jika ditinggalkannya untuk penerusnya berarti ia meninggalkan sesuatu yang membangun jalan menuju Api neraka. Allah tidak akan menghapuskan perbuatan buruk dengan perbuatan buruk yang lebih banyak. Tetapi Allah menghapuskan perbuatan buruk dengan perbuatan baik.”

Abdullah bin Umar RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW menasehati sekelompok pendatang dan bersabda: ”Aku memohon perlindungan Allah dan berharap bahwa 5 perilaku ini tidak terdapat diantara kalian:
1. Ketika tersebar perilaku yang memalukan atau perilaku serba-boleh (permisif) ataupun perilaku bertelanjang, atau pelanggaran aturan berbusana islami dalam sebuah kelompok, maka Allah SWT akan menimpakan kepada mereka wabah penyakit dan sejenisnya yang belum pernah dikenal sebelumnya oleh leluhur mereka.
2. Ketika orang-orang mencurangi timbangan (menilap hak orang lain sebagaimana pernah dilakukan oleh umat Nabi Syuaib AS), maka Allah SWT akan mendatangkan kekurangan pangan dan biaya hidup yang mahal.
Merekapun mengalami deraan fisik yang berkesangatan melelahkan serta kesewenang-wenangan dari para penguasa mereka.
3. Jika mereka tidak membayar zakat, maka akan berakibat terhentinya hujan untuk lahan mereka dan mengakibatkan krisis ekonomi.
4. Jika mereka melanggar ketetapan Allah SWT dan Rasul-Nya SAW, maka dikirimkan-Nya musuh dari luar yang mengeruk kekayaan mereka secara paksa.(Jelas sekali inilah satu dari sebab mengapa muslim seluruh dunia berada dalam penderitaan pada saat ini)
5. Jika para pejabat mereka tidak membuat keputusan berdasarkan petunjuk Allah SWT didalam Al-Qur’an, maka Allah ciptakan perseteruan diantara mereka dan mereka senantiasa bertikai dengan sesama mereka sendiri. (Ibnu Majah)

Semoga Allah SWT menyelamatkan kita dari kepedihan-kepedihan tersebut tadi.
Jelaslah sudah bahwa berbagai kegiatan seremonial dan ritual tidak akan menyatukan Umat Muslim. Umat Muslim hanya akan dipersatukan jika patuh mengikuti cara-cara Halal.
Sangatlah menarik jika kita simak lagi Surat Al-Baqarah Ayat 188, dimana ayat tersebut terletak tepat setelah ayat yang memuat rincian perintah Shaum (puasa), dimana selama waktu berpuasa beberapa hal tertentu yang Halal pun dilarang untuk kita kerjakan.

Dengan demikian tujuan berpuasa adalah untuk mendisiplinkan dan menimba pengalaman mengekang diri sendiri dalam hal pemanfaatan sesuatu yang halal. Didalam puasa terasa betapa besar nilai keteguhan hati dan kesabaran. Pengalaman inilah yang bisa digunakan seseorang untuk mampu menolak sama sekali segala sesuatu yang haram.
Selebihnya, ketika seseorang akan berbuka puasa maka ia haruslah menyiapkan makanan yang halal. Jika ia berbuka dengan yang haram maka puasanya tidak akan diterima oleh Allah SWT.

Terakhir namun tak kalah pentingnya adalah, kriteria halal dan haram haruslah berdasarkan ketetapan Allah SWT semata. Penetapan berdasarkan selain Allah SWT, semisal konferensi ataupun persetujuan internasional, tidaklah akan mampu menyelesaikan permasalahan mengingat bahwa keinginan berbagai kelompok akan diwarnai oleh kepentingan masing-masing. Sama halnya, persetujuan yang dibuat dibawah tekanan perorangan maupun urusan dalam negeri tidaklah bersifat imparsial (bebas kepentingan) dan oleh karenanya menjadi tidak sah (bathil). Hanya hukum Allah SWT sajalah yang bersifat adil senantiasa terhadap semua yang berkepentingan.
Sebagaimana telah disebutkan tadi bahwa Allah SWT sendirilah yang menetapkan halal dan haram. Bahkan tidak seorang Nabi pun di masa kapan pun yang diberi mandat/kewenangan untuk membuat ketetapan. Tidak ada celah dalam sistem Allah SWT, sistem-Nya benar-benar Sempurna.

Semoga Allah SWT menganugerahkan kepada kita kemampuan untuk tetap bertahan pada yang halal dan menjauhkan kita dari keadaan yang tidak ada kejelasan dan meragukan (syubhat). Amiin.